Monday 27 May 2013


cd
Aku heran melihat orang yang sudah tahu dia akan mati, tetapi masih tertawa. Aku heran melihat orang yang sudah tahu bahwa dunia akan binasa, tapi masih mencintainya. Aku heran melihat orang yang sudah tahu bahwa semua perkara terjadi menurut takdir, tapi masih bersedih karena kehilangan sesuatu. Aku heran melihat orang yang sudah tahu bahwa di akhirat ada perhitungan, tapi masih sibuk mengumpulkan harta. Aku heran melihat orang yang sudah kenal dengan neraka, tetapi masih melakukan dosa. Aku heran melihat orang yang sudah mengenal Allah dengan yakin, namun masih mengingat selain-Nya. Aku heran melihat orang yang sudah mengenal setan sebagai musuhnya, tetapi masih mau mematuhinya.
(Utsman bin Affan)
ba

I Luv Beach












Friday 17 May 2013

Hikmah Part 2


KEMATIAN
               
         Di alam ini, tak ada yang pasti kecuali kematian. Kematian, kata Ghazali, pasti, sedangkan yang lain tak ada yang pasti. Meskipun begitu, manusia cenderung abai dan tak hirau dengan kematian. Biasanya, manusia mengingat kematian jika kebetulan ada kereta jenazah lewat didepannya. Ia pun buru-buru ber-istirja’, inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.
            Kematian (al-maut) menyerang siapa saja dan sering kali tiba-tiba (ja’al fuj’atan). Maut merenggut nyawa orang tua, anak-anak, orang biasa, orang hebat dan siapa saja.
            “Katakanlah, ‘Sesungguhnya yang kamu lari padanya, maka sesungguhnya kematian itu akan menemui kamu.” (QS Al-Jum’ah 62:8). Karena wataknya yang seperti tak mengenal belas kasihan, kematian itu disebut oleh Nabi dengan istilah hadzim al-ladzdzaat, yakni penghancur kenikmatan dan kelezatan duniawi (HR Tirmidzi, Nasa’I dan Ahmad dari Abu Hurairah).
            Sebagian ulama menyebutnya dengan istilah, mufarriq al-ahbab (yang menceraikan manusia dari orang-orang yang dicinta) dan musyattit al-jam’iyyah (yang memutuskan manusia dari kelompok sosialnya). Meskipun merupakan fenomena sehari-hari, manusia belum sepenuhnya mengetahui hakikat kematian itu. Menurut Al-Ghazali, kematian itu bukan tak adanya hidup, melainkan berubahnya keadaan.
            Ini berarti, dengan mati (kematian), bukanlah kehidupan itu tidak ada. Kehidupan tetap ada, tetapi berubah dalam wujud (kehidupan yang lain). Dalam al-‘Adl al-ilahi, Murtadza Muthahhari menerangkan perbedaan kehidupan itu, yakni kehidupan dunia dan kehidupan akhirat.
            Dikatakan, kehidupan dunia tak sejati karena masih bisa bercampur dengan yang hak dan batil, kejujuran dan kepalsuan, serta antara pejuang dan pengkhianat. Ini berbeda dengan kehidupan akhirat yang disebutnya murni dan sejati. Dalam Alquran, kematian disebut dengan beberapa terma, antara lain, al-maut, al-wafah, al-ajal, dan al-ruju’  yang secara harfiah berarti kembali. Bila menunjuk kata yang terakhir , al-ruju’, kematian bisa dipahami sebagai proses perjalanan pulang menuju negeri akhirat, kampung halaman kita yang sebenarnya.
            Secara kejiwaan, pulang atau perjalanan pulang merupakan kegiatan paling menyenangkan karena setiap orang, menurut fitrahnya ingin cepat-cepat pulang (kembali). Tradisi pulang kampung (mudik) sangat menyenangkan meski berdesak-desak dan macet sepanjang jalan. Jadi, kematian itu seperti “mudik” ke tanah leluhur, mestinya menyenangkan, dengan satu syarat, bekal yang cukup, yaitu kebaikan (amal shaleh).
            Sebagai muslim, kita mesti mampu memetik pelajaran dari setiap peristiwa kematian. Pertama , karena kematian pasti, kita mesti selalu mengingatnya dan menjadikannya sebagai nasehat. Kedua, karena kematian sejatinya merupakan perjalanan pulang, kita mesti memperbanyak bekal, ibadah dan amal shaleh. Ketiga, tidak boleh lupa, kita berdoa kepada Allah agar tidak kembali kehadirat-Nya kecuali dalam keadaan islam.

                                                                                                                    Oleh A Ilyas Ismail

Saturday 4 May 2013

HIKMAH


Saat Di Hina

‘’ Ustaz, saya tidak melakukan satu kesalahan pun. Bahkan saya selalu merasa berbuat baik padanya. Namun, semuanya seperti debu yang tersapu angin, hilang dan tidak berbekas. Tragisnya lagi, kata-kata kotor dan merendahkan justru berhamburan dari lisannya! Saya dihina habis-habisan,” seorang jamaah mengeluh selepas halaqah dengan nada super kesal.
                Atas curhatan seorang jamaah ini, ada baiknya kita melihat kembali sejarah Rasulullah SAW yang pernah mendapati keadaan yang lebih buruk dari itu. Seperti dituturkan oleh Abu Bakar As-Shiddiq. Suatu ketika, sahabat terdekat Nabi ini termenung. Ia terus bertanya-tanya, amal saleh apa yang pernah dikerjakan oleh Rasulullah, tetapi belum ia kerjakan.
                Maka, ia pun bertanya kepada anaknya, Aisyah, yang juga merupakan istri Nabi. “wahai anakku, apa kira-kira amal yang pernah dilakukan oleh Rasulullah ketika masih hidup tapi belum pernah aku kerjakan?”, Aisyah menjawab, “Rasulullah selalu memberi makan kepada seorang Yahudi buta di pojok sudut pasar.” Tidak menunggu waktu lama, Abu Bakar pun menghampiri perempuan tersebut.
                Sambil mengeluarkan roti, Abu Bakar mendekati perempuan Yahudi itu. Benar, perempuan buta itu terus saja mengatakan hal buruk-buruk tentang Rasulullah. Ia menghina Rasulullah dan menyuruh orang-orang dipasar untuk tidak mengikuti ajakan Muhammad. Abu Bakar mendengar itu semua dengan gejolak hati tidak menentu.
                Ia tidak bisa membayangkan bagaimana perasaan Rasulullah saat memberi makan perempuan buta itu. Padahal telinga beliau dibombardir kalimat-kalimat ejeken dan hinaan. Suapan pertama pun telah masuk. Tapi terkagetlah Abu Bakar. Sambil memuntahkan kembali suapannya, perempuan buta itu berkata ketus, “siapa kamu, kamu bukan orang yang biasa memberi aku makan.”
                Abu Bakar berkata, “Dari mana engkau tahu bahwa aku bukanlah orang yang biasa memberimu makan?” Perempuan itu menjawab, “Makanan yang engkau beri tidak kau haluskan lebih dulu, orang yang biasa memberiku makan selalu menghaluskan makanan lebih dulu karena ia tahu gigiku sudah tak sanggup lagi mengunyah makanan”.
                Tidak sabar dengan keadaan yang tak menentu di hatinya ini, Abu Bakar sambil terisak berujar, “Ketahuilah, orang yang biasa memberimu makan sudah wafat beberapa hari yang lalu dan aku adalah sahabatnya. Orang yang biasa memberimu makan adalah Muhammad, lelaki yang tiap hari selalu bersabar meski kau hina dan caci, sedangkan ia tak pernah berhenti menyuapkan makanan ke mulutmu.
                Perempuan Yahudi yang buta itu kaget bukan main. Dan , tak lama kemudian tangisannya pun pecah. Ia menyesal belum sempat minta maaf kepada orang yang sangat peduli dengannya. Padahal, tidak ada seorang keluarganya pun yang peduli.
                Subhanallah, saat hinaan dibalas dengan kesabaran, ternyata buahnya adalah ilmu, hikmah, dan hadiah yang luar biasa dari ALLAH SWT. Sebagaimana perempuan Yahudi yang kemudian bersyahadat ini, semoga saja dengan tetap bersabar akan terbersit pintu kebaikan dalam hidup kita. Amin